Google Glass, perangkat
kacamata canggih besutan Google kini menjadi buah bibir di AS, khususnya
di kalangan penggandrung gadget dan teknologi.
Di Indonesia, perangkat
ini masih di awang-awang, hanya bisa membaca berita terbarunya di
internet, atau menyempatkan mampir ke YouTube untuk melihat wujudnya.
Memang, Google sampai saat ini belum mau meluncurkan kacamata canggihnya itu. Konon, perangkat ini masih berupa prototipe dan membutuhkan penyempurnaan.
Tapi, Kevin Smith ingin berbagi pengalaman dengan Anda. Pada akhir pekan lalu, jurnalis dari Business Insider ini menghadiri konferensi SXSW Interactive di Austin, Texas-AS. Di sana, dia berkesempatan mencicipi gadget generasi depan Google, Google Glass.
Memang, Google sampai saat ini belum mau meluncurkan kacamata canggihnya itu. Konon, perangkat ini masih berupa prototipe dan membutuhkan penyempurnaan.
Tapi, Kevin Smith ingin berbagi pengalaman dengan Anda. Pada akhir pekan lalu, jurnalis dari Business Insider ini menghadiri konferensi SXSW Interactive di Austin, Texas-AS. Di sana, dia berkesempatan mencicipi gadget generasi depan Google, Google Glass.
"Pengalaman yang sangat menarik. Bingkainya tidak terasa berat di muka, bahkan saya tidak merasa ada perbedaan dengan kacamata yang biasa saya pakai sehari-hari," ujar Smith, dilansir Business Insider, 13 Maret 2013.
Dia menjelaskan, Glass terbuat dari metal, sehingga boleh dibilang tahan banting. Bisa dibengkokkan dan diputar, tidak ada masalah. "Saya berharap banyak untuk modifikasi desainnya. Masih agak kaku. Mungkin karena prototipe. Saya harap, nanti Glass bisa lebih rapi dan lebih tidak terlihat," terangnya.
Ketika Anda memakai Glass di muka, layar kecil akan muncul di bagian kanan atas, transparan. Karena layarnya sangat kecil, rasanya sulit untuk mengambil gambar atau memfoto dengan perangkat ini, seperti yang diberitakan.
Awalnya, keberadaan layar terasa mengganggu, karena pengguna ingin selalu melihatnya. Tapi, sekali merasa familliar, Smith yakin sudah tidak ada masalah lagi dengannya.
Ini salah satu contohnya. Terlalu mendramatisasi. Ukuran layar yang asli adalah mungil, dan tidak memblok pemandangan Anda seperti foto di bawah ini:
Di bagian kanan Glass, di mana baterai diletakkan, sangat sensitif terhadap sentuhan. Ini digunakan untuk menjelajahi berbagai layar.
Smith sadar, Google perlu menawarkan solusi lain bagi mereka yang menggunakan kacamata sehari-hari. "(Mata) saya rabun. Layar kecil rasanya seperti sangat jauh," ucapnya.
Kecanggihan lain, pengguna juga bisa berbicara dengan Glass. Jika tangan Anda lelah atau sekadar malas, cukup bilang, "OK Glass," dan mulai memerintahnya, seperti "send a message" (kirimkan pesan) atau "get me directions" (tunjukkan saya arah).
Tapi, Glass perlu adaptasi jika berbicara dengan orang yang baru. Diksi dan lafal suara yang berbeda, membuat Glass bingung dan meminta penggunanya melafalkan dua-tiga kali.
Atau, Glass bisa pula tidak merespons perintah karena jeda waktu antara "OK Glass" dan perintah terlalu lama.
Di bawah ini gambar jika Anda ingin Glass menunjukkan arah ke sebuah tempat. Karena berjalan kaki, kacamata mutakhir ini juga mengestimasi jarak serta waktu yang ditempuh hingga sampai ke tujuan.
"Sekarang saya sudah mencoba gadget canggih ini, dan ternyata lebih dari sekadar kacamata seperti yang saya lihat di foto atau YouTube. Saya yakin kacamata ini mampu 'lepas landas' tidak lama lagi," ungkap Smith.
Menurutnya, harga US$1500 (setara Rp14,5 juta) untuk Glass masih menjadi hambatan. Namun, dia berharap, harga itu hanya untuk pengembang dan "orang khusus". (umi)
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)