Dari beberapa perbicangan dengan sahabat, ada satu pertanyaan yang sangat menarik untuk dibahas: 'Siapa saja yang akan masuk ke dalam surga?'.
Dengan
memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an dipahami bahwa surga merupakan janji
niscaya Allah Swt yang diperuntukkan bagi orang-orang "muttaqin",
"mu'min" dan orang-orang yang patuh terhadap seluruh titah Allah Swt dan
Rasulullah Saw. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bahagia
sejati dan orang-orang yang berjaya.
Dengan
menyimak perintah-perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw kita jumpai
bahwa di antara perintah-perintah Allah Swt dan Rasul-Nya adalah
ketaatan terhadap wali amr, mengenal imam dan menunaikan hak-hak
Ahlulbait As. Tanpa syak bahwa mereka yang tidak memiliki keyakinan
dalam hati, lisan dan tidak mentaati Allah Swt, Rasulullah Saw, Qur'an
dan Ahlulbait As sesungguhnya bukan mukmin sejati. Dan janji niscaya
Allah Swt berupa surga ini tidak akan mereka dapatkan.
Lantaran
al-Qur'an menyatakan: "Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal yang saleh surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar." (Qs. Al-Buruj [85]:11)
Sejatinya surga atau neraka merupakan refleksi keyakinan dan amalan yang
kita miliki di dunia. Sesuai dengan redaksi al-Qur'an, "In ahsantum
ahsantum lii anfusikum wain asa'tum falaha." (Sekiranya engkau berbuat
kebajikan maka kebajikan itu untuk dirimu sendiri. Sekiranya engkau
berbuat keburukan maka baginya keburukan itu).
Keharusan
mengikut secara totalitas imam dan Ahlulbait lebih tinggi dari sekedar
klaim kecintaan terhadap mereka. Hal ini bukan semata-mata dapat
ditemukan dalam mazhab Syiah. Rahasia masuknya seseorang ke dalam surga
pada pengenalan dan makrifat kepada imam terletak pada akar pemahaman
kunci seperti: makna Imam, keharusan taat kepada imam, keharusan adanya
imam, kebutuhan terhadap imam dalam mengenal kebahagiaan dan sebagainya.
Singkat
kata, barang siapa tidak sampai kepadanya hakikat dan tidak bersikap
acuh-tak-acuh dalam mencari kebenaran serta tidak termasuk dari golongan
muqassir maka sesungguhnya ia tidak layak untuk dikirim ke neraka.
Karena neraka merupakan kediaman para pendosa bukan bagi mereka yang
tidak mengenal kebenaran dan bukan juga bagi mereka yang belum sampai
kebenaran kepadanya.
Surga
merupakan janji niscaya Allah Swt,[1] sekarang masalah yang mengemuka
adalah siapa yang termasuk dari orang-orang yang dijanjikan Allah Swt
baginya surga ini? Dengan mengkaji sekumpulan ayat-ayat terkait dengan
penghuni surga dapat disimpulkan bahwa, "Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan (akan mendapat) surga yang
di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat tinggal yang bagus di surga ‘Adn." (Qs.
Al-Taubah [9]:72) Untuk masuk ke dalam surga terdapat sebuah syarat dan
syarat itu adalah beriman (mukmin). Itu saja. Lalu siapa yang disebut
sebagai mukmin? Apakah ekspresi bahasa dua kalimat syahadat dalam
membuahkan iman dan tergolong ke dalam orang-orang beriman sudah
memadai?
"Barang
siapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal
di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar." (Qs. Al-Nisa [4]:13)
Penghuni surga dari orang-orang beriman adalah mereka yang mentaati
Allah Swt dan Rasulullah Saw secara totalitas. Lalu bagaimana ketaatan
kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw itu?
Hal ini
dapat ditelusuri pada ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkan bahwa
ketaatan ini terdiri dari dua bagian: Ketaatan ideologis (i'tiqâdi) dan
ketaatan praktis ('amali)
"Sesungguhnya
bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang
besar." (Qs. Al-Buruj [85]:11) Barang siapa yang beriman, memiliki
keyakinan dan mengamalkan apa yang diyakininya maka ia akan menjadi
penghuni surga.
Karena itu,
sepanjang kita tidak mentaati Rasulullah Saw kita tidak termasuk sebagai
orang yang taat dan patuh. Dan ketaatan juga termasuk ketaatan hati dan
keyakinan di samping dipraktikkan pada tataran perbuatan. Apabila satu
saja perintah atau perbuatan Rasulullah Saw tidak kita yakini atau tidak
kita kerjakan maka kita belum termasuk sebagai orang yang taat dan
patuh secara totalitas.
Apa yang menjadi buah iman dan amal shaleh?
Dalam
perspektif al-Qur'an, kombinasi indah dan penuh hikmah antara iman dan
amal shaleh ini menghasilkan buah takwa dan orang-orang bertakwa adalah
penghuni surga: "Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada
sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya;
mereka kekal di dalamnya." (Qs. Ali Imran [3]:15)
Dari apa yang telah dibahas kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa:
Mutiara
kebahagiaan adalah ketakwaan dan ketakwaan adalah ketaatan totalitas
terhadap seluruh perintah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Kendati
ketakwaan memiliki tingkatan dan derajat. Dan tingkatan yang paling
rendahnya adalah menunaikan segala yang diwajibkan dan menghindar dari
segala perbuatan dosa. Dengan demikian, pertama-tama kita harus berupaya
untuk mengamalkan seluruh kewajiban dan perintah-perintah secara
totalitas.
Di antara
perintah Rasulullah Saw adalah keharusan mengenal dan mentaati para
khalifah dan imam sejati pasca beliau.[2] Dan tanpa ragu bahwa mereka
yang tidak memiliki keyakinan dalam hati, lisan dan tidak mentaati Allah
Swt, Rasulullah Saw, Qur'an dan Ahlulbait As sesungguhnya bukanlah ahli
iman dan amal saleh dan tidak memiliki derajat ketakwaan.
Salah satu
poin penting yang harus disebutkan di sini adalah apa yang diserukan
al-Qur'an pada ayat 59 surah al-Nisa (4) terkait ketaatan kepada "wali
amr" yang bersifat mesti dan wajib. Kewajiban ini pun sejajar dan
sederet dengan kewajiban taat kepada Allah Swt.
Kiranya kita
perlu menyebutkan hal ini bahwa "wali amr" yang ketaatan kepadanya
sejajar dengan ketaatan kepada Allah Swt haruslah seorang yang maksum
dan siapa saja yang naik takhta kekuasaan tidak dapat disebut sebagai
"wali amr"; karena apabila "wali amr" bukan seorang maksum maka boleh
jadi titahnya tidak sejalan dengan titah Allah dan Rasul-Nya. Apabila
demikian maka perintah untuk mentaati Allah Swt dan mematuhi wali amr
akan berujung pada berkumpulnya dua hal yang bertentangan satu dengan
yang lain dan tentu saja perkara ini mustahil adanya.
Terkait
dengan kebahagiaan dan peran iman terhadap masalah imâmah dalam
menciptakan kebahagiaan seperti yang disinggung sebelumnya berikut ini
kami akan mengajak Anda untuk membahas bagaimana performa dan pengaruh
imam dalam memercikkan kebahagiaan kepada seseorang atau masyarakat,
menjadi penghuni surga atau nerakanya seseorang.[3]
Kebahagiaan dan pengaruh keyakinan kepada imam
Pada bagian
ini, kami mengajak Anda untuk membahas apa yang telah disebutkan
sebelumnya terkait dengan definisi kebahagiaan, kemenangan, kesuksesan
di dunia dan akhirat demikian juga pengenalan pengaruh keyakinan kepada
imam dan imamah dalam menemukan kebahagiaan dan kemenangan.
A. Apa itu kebahagiaan?
Setiap orang
memiliki definisi yang beragam tentang kesuksesan dan kebahagiaan. Akan
tetapi nampaknya keragaman definisi ini tidak memberikan keuntungan
bagi mereka yang mencari hakikat.
Oleh karena
itu, sebaiknya kita mencari penafsiran dan definisi hakiki dari apa yang
diinginkan Allah Swt terkait perbedaan kelompok "orang-orang yang
beruntung" dan "orang-orang yang merugi."
Tatkala
Tuhan ingin mencirikan seorang manusia yang berjaya dan sukses semisal
Nabi Ibrahim As, Dia mengintrodusirnya dengan karakteristik seperti ini,
"Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk pengikut Nuh. (Dengan
tanda-tanda) Ketika ia datang kepada Tuhan-nya dengan hati yang suci."
(Qs. Shaffat [37]:83-84) Dan juga di antara doa Nabi Ibrahim As adalah:
"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (yaitu)
di hari harta dan anak-anak tidak lagi berguna. . kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang suci.” (Qs. Al-Syuara [26]:87-89)
Apa yang
dapat kita petik dari penegasan al-Qur'an ini terkait dengan hati yang
suci adalah bahwa orang yang sukses, berjaya, dan bahagia adalah orang
yang sedemikian hidup di dunia sehingga tatkala ia bersua dengan Tuhan
ia berbekal dengan hati yang suci. Dan menariknya bahwa pada kelanjutan
ayat di atas kita jumpai, "Dan (pada hari kiamat) di dekatkanlah surga
(yang telah menghiasi dirinya) kepada orang-orang yang bertakwa." (Qs.
Al-Syuara [26]:90) Pesan ayat ini adalah bahwa dengan memiliki hati yang
suci (qalbun salim) kita bisa mencapai derajat takwa dan ganjaran
orang-orang yang bertakwa adalah surga.
Sebagai
hasilnya: Kebahagiaan, kejayaan, kemenangan bermakna upaya dan usaha
untuk mendapatkan hati yang suci! Pemilik kebahagiaan sejati adalah
orang yang memiliki hati yang suci. Kebahagiaan seiring sejalan dengan
kesucian dan keselamatan hati.
B. Pengaruh keyakinan terhadap masalah imamah dalam mencapai kebahagiaan
Para perawi
dan penulis Ahlusunnah menukil riwayat penting berikut ini dimana
sebagian dari riwayat tersebut disebutkan demikian bahwa Rasulullah Saw
bersabda kepada Ali As:
"Umat Musa
terbagi menjadi 71 firqah dimana (hanya) satu firqah yang selamat dan
selebihnya akan memasuki neraka; Umat Isa terbagi menjadi 72 firqah
dimana (hanya) satu firqah yang selamat dan selebihnya akan memasuki
neraka; dan umatku akan terbagi menjadi 73 firqah dimana (hanya) satu
firqah yang selamat dan selebihnya akan memasuki neraka. Imam Ali As
bertanya: "Wahai Rasulullah! Siapa gerangan firqah yang mendapatkan
keselamatan (firqah al-najah) itu? Rasulullah Saw bersabda: " (Yang
selamat) adalah yang berpegang teguh kepada jalanmu dan jalan
Syiahmu."[4]
Buraidah
Aslami (yang merupakan sahabat Rasulullah Saw dalam pandangan
Ahlusunnah) menukil dari Rasulullah Saw bahwa yang dimaksud dengan
al-shirat al-mustaqim (jalan lurus) pada ayat "Ihdina al-Shirat
al-mustaqim" adalah Muhammad dan keluarga Muhammad.[5]
Rasulullah
Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin seperti angin kencang, menyalip
kencang melintasi jalan (jembatan) dan masuk ke dalam surga tanpa hisab
maka ia mesti menerima wilayah wali, wasi dan khalifahku atas keluargaku
(wilayah) Ali bin Abi Thalib."
Dan barang
siapa yang ingin masuk ke dalam neraka jahannam "Maka tinggalkanlah
wilayahnya. Demi keagungan Tuhanku, aku bersumpah bahwa sesungguhnya ia
adalah gerbang Tuhan (babUllah), dan sesungguhnya ia adalah al-shirat
al-mustaqim (jalan lurus), dan sesungguhnya tentang wilayahnya yang akan
ditanyakan kelak oleh Allah Swt pada hari Kiamat."[6]
Amalan perbuatan siapa yang dikabulkan?
Wilayah merupakan syarat untuk diterimanya ibadah!
Sesuai
dengan riwayat yang berulang kali dinukil oleh Ahlusunnah, asas dan
syarat Tuhan dalam menerima amal perbuatan manusia adalah penerimaan
mereka terhadap wilayah Ali bin Abi Thalib As!
Rasulullah
Saw bersabda: "Memandang wajah Ali bin Abi Thalib adalah ibadah.
Mengingatnya adalah ibadah. Iman seseorang hanya akan diterima dengan
(dasar) kecintaan kepadanya dan kebencian terhadap musuh-musuhnya."[7]
Yang dapat
disimpulkan dari riwayat ini adalah bahwa syarat diterimanya iman
(apatah lagi ibadah) adalah wilâyah (menjadikannya sebagai wali) dan
barâ'at (menolak orang-orang yang memusuhinya).
Lagi ulama Ahlusunnah menukil bahwa:
"Rasulullah
Saw bersabda: "Wahai Ali! Apabila ada seseorang beribadah kepada Tuhan
seukuran usia Nabi Nuh As, memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu emas
itu ia infakkan di jalan Allah, dan sepanjang hidupnya ia berjalan kaki
untuk menunaikan haji, dan kemudian ia mati dalam keadaan teraniaya di
antara Shafa dan Marwah, namun ia tidak menerima wilayahmu! Maka
sekali-kali ia tidak akan pernah mencium semerbak bau surga dan memasuki
surga."[8]
Adapun
pembahasan ihwal apakah non-Syiah akan memasuki neraka atau tidak
merupakan pembahasan yang akan kami singgung secara global sebagai
kelanjutan pembahasan di atas.
Orang-orang yang tidak beriman terhadap agama Islam terdiri dari dua kelompok:
1. Kelompok
yang dikenal dengan terma jahil muqassir dan kafir: Artinya Islam telah
sampai kepada mereka dan mereka pun tahu tentang hakikat Islam, akan
tetapi ia tidak siap menerimanya lantaran keras kepala dan
pembangkangan. Kelompok ini layak untuk mendapatkan azab dan keabadian
dalam neraka.
2. Kelompok
yang dikenal dengan terma jahil qasir: Artinya Islam atau pesan Islam
tidak sampai kepada mereka atau Islam yang disampaikan kepada mereka
sangat mentah dan bukan Islam yang sebenarnya. Orang-orang ini memandang
Islam sejajar dan sederet dengan agama-agama seperti Kristen, Yahudi,
Hindu dan Budha. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini lantaran
kejujuran mereka dalam agamanya adalah tergolong orang-orang yang
selamat.
Sesuai
dengan pandangan Islam apabila orang-orang seperti ini jujur dalam agama
dan ajarannya – yang bersandar pada fitrah - misalnya tidak suka
berkata dusta, menentang perbuatan tidak manusiawi maka mereka adalah
orang-orang yang selamat dan orang-orang yang berharap pada rahmat
Ilahi.
Pembahasan
ini terkait dengan para ilmuan yang bertauhid dan para pengenal Tuhan
yang belum mengenal Islam sebagaimana mestinya dan orang-orang
Ahlusunnah yang belum lagi mengenal Syiah sebagaimana seharusnya juga
dapat diberlakukan.
Pendeknya,
barang siapa yang belum sampai baginya kebenaran dan ia juga tidak
memandang remeh dalam mencari hakikat tidaklah layak mendapatkan azab;
karena azab adalah bagi para pendosa bukan bagi orang yang tidak
mengenal hakikat dan kebenaran dan kebenaran belum lagi sampai kepada
mereka.[]
[1]. "Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa." (Qs. Al-Ra'ad [13]:35)
[2].
"Athiu'Llah wa Athi'urasul wa Ulil Amri minkum," (Qs. Al-Nisa [4]:59);
Qul laa as'ulukum 'alaiha ajran illa al-mawaddah fii al-qurba", (Qs.
Al-Syura [42]:23); "Man kuntu mawla fahadza Aliyun Mawla," al-Mustadrak
'ala al-Shahihain, jil. 3, hal. 109.
[3]. Namun
terkait dengan pembahasan kebutuhan manusia terhadap imam menuntut
pembahasan yang lebih jeluk, dan hal tersebut tidak terpenuhi dengan
artikel semacam ini, karena itu rincian pembahasan ini akan kami
alokasikan pada waktu yang lain.
[4]. Al-Ishâba fii Tamyyizz al-Shahâbah, Asqalani, jil. 2, hal. 174.
[5]. Rasyfatu al-Shad, Sayid Syihabuddin Syafi'i, hal. 25; Yanâbi' al-Mawaddah, Syaikh Salman Hanafi, hal. 114.
[6]. Syawâhid al-Tanzil, Huskani, jil. 1, hal. 59 & 90.
[7]. Manâqib Khawarazmi, hal. 19 dan 212; Kifâyat al-Thâlib, Ganji Syafi'i, hal. 214.
[8]. "Tsumma
lam yuwalikum ya Ali lam yasyumm raihata al-jannah wa lam yadkhuluha."
Khatib Khawarazmi, Maqtal al-Husain As, Khawarazmi, jil. 1, hal. 37.
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)