Borobudur tetap menjadi keajaiban dunia. Borobudur
merupakan daerah kecamatan yang berada di wilayah kabupaten Magelang
Jawa Tengah. Di tempat ini berdiri megah sebuah candi Budha yang
jaraknya kurang lebih 15 km sebelah selatan kota Magelang, dan 41 km ke
arah utara dari kota Yogyakarta. Borobudur setiap tahun menyambut ribuan
umat Budha yang akan merayakan Tri Suci Waisak, beserta ribuan
masyarakat umum yang akan menikmati kemegahan candi yang bagi bangsa
Indonesia tetap merupakan keajaiban dunia. Serta dijaga lebih dari
seribu polisi untuk menjamin keamanan bangunan cagar budaya tersebut
dalam setiap perayaannya.
Jubah/Civara memenuhi Umbul Jumprit. Para
Biksu menuju sumber air suci di Umbul Jumprit di kecamatan
Ngadirejo kabupaten Temanggung. Air merupakan elemen penting dalam
perayaan Waisak, air suci dari sumber pegunungan yang asri di daerah
ketinggian yang berhawa dingin ini menjadi simbol akan kesucian diri dan
ketenangan bathin. Air suci akan dibawa dengan ribuan botol dan
dibagikan kepada umat Budha di altar candi Borobudur.
Semangat sumber api abadi. Api
sebagai simbol puja bakti yang digunakan untuk perayaan Waisak
memberikan refleksi atas sifat emosi manusia, sebuah semangat dan hasrat
serta untuk menghapuskan kesuraman dan memancarkan kecerahan dengan
sinarnya. Sumber api tersebut diambil dari api abadi Mrapen yang
lokasinya di desa Manggarmas kecamatan Godong kabupaten Grobogan, yang
berjarak kurang lebih 25 Km dari pusat kota Purwodadi.
Naga di pusat kota Magelang. Dalam
rangkaian perayaan Waisak, keberadaan Klentheng Liong Hok Bio yang
terletak di sebelah selatan alun-alun kota Magelang merupakan bangunan
bersejarah yang digunakan untuk mengawali prosesi Pindapata. Pada masa
peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825 – 1830 , terjadi banyak
kekacauan dan kejahatan yang meresahkan rakyat. Be Koen Wie adalah
pejuang Tionghoa yang berhasil melawan kejahatan yang meresahkan rakyat
dikala itu, hingga atas jasanya, pemerintah Belanda menghadiahkan
sebidang tanah di tengah kota Magelang. Dan di sebidang tanah tersebut,
Be Koen Wie mendirikan Klentheng Liong Hok Bio pada tahun 1864.
Tradisi bersedekah untuk pengelana. Pindapata
secara mudah bisa diartikan sebagai sedekah. Dalam perayaan Waisak di
Borobudur, prosesi Pindapata yang dilaksanakan di Klentheng Liong Hok
Bio kota Magelang merupakan bentuk ritual keagamaan bagi umat Budha,
tapi juga merupakan wisata budaya bagi masyarakat umum. Bentuk toleransi
beragama dalam masyarakat lebih terlihat menonjol dalam prosesi
Pindapata tersebut. Pindapata adalah tradisi yang dilakukan Sang Buddha
pada jaman dahulu, pada saat menjalankan tradisi berkelana tersebut,
kebutuhan hidup ditanggung oleh umatnya. Dan bagi umat Budha, sedekah
akan mendatangkan kebaikan serta keberuntungan.
Menikmati makan ala Biksu. Menu
makanan para Biksu cukup sederhana, karena mereka menjalani hidup
dengan sedekah yang diberikan oleh para umat. Dan karena itulah mereka
menikmati semua makanan yang sebagian besar sayuran yang diberikan
sebagai sedekah dari para umatnya. Dan tidak sepenuhnya mereka
menjalani hidup sebagai vegetarian, karena ada juga beberapa yang
meyakini bahwa jika daging itu berasal dari binatang yang dibunuh bukan
oleh mereka dan tidak dipotong khusus untuk mereka, maka daging itu bisa
mereka konsumsi. Dan bagi Biksu yang tidak mengkonsumsi daging, tiruan
menu daging yang dibuat dari campuran ketan dan kedelai atau jamur, hal
itu dilakukan semata untuk membuat menu lebih beragam, bukan karena
keinginan yang terpendam untuk mengkonsumsi daging.
Panggilan hidup sebagai Bhikkuni. Keberadaan
para Bhikkuni dalam perayaan Waisak tidak saja menarik perhatian dari
segi kerelaan mereka menggunduli rambut atau mahkota kecantikannya, tapi
keunikan pilihan hidup yang mereka jalani sungguh luar biasa dimata
masyarakat pada umumnya. Mereka menjalani paling tidak 8 sila sebagai
persyaratannya, yaitu tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak
melakukan hubungan intim, tidak berbohong, tidak meminum minuman keras
atau hal yang memabukkan, tidak makan sesudah jam 12 siang sampai
keesokkan hari, tidak berdandan menari bernyanyi dan menonton
pertunjukan, dan tidak duduk serta tidur di tempat yang mewah.
Pesona alam dari bukit Punthuk Setumbu. Pada
perayaan Waisak di candi Borobudur, ada sebuah kewajiban yang tidak
tertulis bagi wisatawan khususnya bagi para pehobi ataupun profesional
fotografer yang banyak berdatangan ke lokasi tersebut. Yaitu menikmati morning glory, sebuah
pemandangan pagi hari dengan semburat sinar merah matahari pagi yang
terbit dari sisi timur candi Borobudur dan latar belakang puncak gunung
Merapi. Lokasinya berada di puncak bukit Punthuk Setumbu desa Karangrejo
kabupaten Magelang, yang berjarak 4 Km dari candi Borobudur dan harus
mendaki jalan setapak sepanjang 1 Km. Karena jalanannya tanah liat yang
keras dan cenderung licin bila habis hujan atau terkena embun,
diperlukan kehati-hatian untuk menuju ke puncak bukitnya. Dan waktu yang
ideal untuk menuju ke lokasi ini adalah pukul 03.30 pagi, karena cahaya
semburat merah akan mulai terlihat saat pukul 05.00 bila cuaca sedang
cerah.
Hening dalam penghormatan. Malam
perayaan Waisak juga diwarnai dengan sebuah ritual Pradaksina bagi umat
Budha, dan terkadang para wisatawan juga ikut larut didalamnya. Bagi
masyarakat sekitar candi Borobudur, Pradaksina berarti berjalan
mengelilingi candi searah jarum jam. Sementara bagi umat Budha,
Pradaksina di candi Borobudur adalah ritual penghormatan untuk jasa para
Buddha dan Bodhisattva. Prosesi berjalan berkeliling secara tertib
sebanyak tiga kali searah jarum jam ini menempuh jarak total kurang
lebih setara dengan 1,5 Km.
Terbang bersama doa-doa. Dan
sebagai penutup malam purnama, candi Borobudur akan dipenuhi dengan
indahnya 1000 lentera dari lampion yang berterbangan ke angkasa
menghiasi langit. Makna yang diyakini umat Budha adalah, bahwa cahaya
lampion merupakan simbol dari hilangnya kegelapan untuk meraih harapan
dan cita-cita. Dan prosesi lepas lampion ini juga dapat dilakukan siapa
saja yang datang ke candi Borobudur dengan doa yang dipanjatkan melalui
keyakinan mereka masing-masing. Lampion terbuat dari kertas minyak
dengan kerangka bambu tipis dengan tinggi 75 cm dan diameter 50 cm,
sedangkan daya dorongnya berasal dari api kain yang dililit melingkar
dengan kawat dan diberi minyak tanah.
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)