Komhukum
(Jakarta) - Akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
pernyataan bahwa bagi umat Islam baik pria maupun wanita wajib hukumnya
menjalankan khitan.
Pernyataan bersama yang dikeluarkan MUI dan
organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tersebut, pada Senin (21/1) itu,
sebetulnya sebagai penegasan kembali bahwa tak perlu lagi ada keraguan
bagi umat Islam melaksanakan khitan.
Beberapa tahun lalu MUI
sudah mengeluarkan fatwa tentang khitan bagi pria dan wanita. Cuma saja,
saat itu, gaungnya tak terlalu kuat. Baru sekarang ini, karena ada
pihak yang mempermasalahkan tentang khitan. Pernyataan tersebut
disampaikan melalui Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ma'ruf Amin. Tegasnya,
"Khitan merupakan wajib hukumnya".
Bagi orang tua muslim, jauh
sebelumnya sudah melaksanakan khitan untuk putra-puterinya. Untuk
kalangan anak lelaki atau putera, menjalankan khitan tak banyak
menimbulkan persoalan. Sebab, banyak kalangan, khususnya para ahli
kesehatan (kedokteran) pun sudah membuktikan bahwa anak lelaki yang
dikhitan dapat terhindar dari penyakit (kelamin) dan penyakit lainnya.
Tetapi,
justru khusus untuk wanita banyak menimbulkan kontroversial, utamanya
setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO), beberapa tahun silam, mengeluarkan
himbauan agar anak wanita tak perlu dikhitan. Alasan yang mengemuka,
saat itu, jika anak perempuan dikhitan akan mengurangi kenikmatan dalam
bersetubuh tatkala menjalani kehidupan rumah tangga.
Pendapat itu
kemudian merebak ke berbagai penjuru dunia. Kendati demikian, bagi umat
Islam, himbauan dari WHO tersebut tak diindahkan. Khitan bagi wanita
sebagaimana sudah berjalan bertahun-tahun tetap berlangsung. Muncul
kontroversial, khususnya dari para aktivis hak asasi manusia (HAM) yang
mengeluarkan pernyataan bahwa wanita yang dikhitan tersebut dinilai
telah melanggar HAM.
Dan, menghadapi kuatnya opini bahwa
perbuatan mengkhitan bagi wanita dianggap sebagai pelanggaran HAM,
lantas para ahli kesehatan di tanah air melakukan diskusi yang berujung
bahwa ternyata khitan bagi wanita bukan sebagaimana dimaksudkan seperti
menyunat (khitan) yang dilakukan bagi kalangan pria.
Alasan
dianjurkan Lantas, apa sih yang menjadi alasan MUI membolehkan wanita
dikhitan itu? Khitan bagi perempuan (wanita) hukumnya khilaf antara
wajib, makrumah dan sunnah sesuai fatwa MUI Nomor 9 A Tahun 2008 tentang
khitan perempuan tanggal 7 Mei 2008. Khitan bagi pria dan wanita
termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Khitan bagi wanita termasuk
yang dianjurkan (makrumah).
Tata cara khitan bagi perempuan hanya
menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
Ajaran Islam melarang praktek khitan perempuan yang dilakukan secara
berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris yang mengakibatkan
bahaya (dlarar).
Terkait dengan itu, lantas MUI kembali
menegaskan agar Pemerintah tidak mengindahkan setiap upaya yang
menginginkan adanya pelarangan khitan bagi perempuan di Indonesia.
Sebab, jelas hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Khitan bagi
perempuan merupakan kewajiban dan jika tidak dilaksanakan berarti
melanggar HAM. Untuk itu, MUI merasa perlu memberi ketegasan tentang
khitan bagi perempuan tersebut.
Tentunya, akan terasa elok jika
MUI melakukan sosialisasi sehingga opini keliru tentang khitan bagi
perempuan yang sudah terbentuk dapat diluruskan. Sebelumnya Prof. Dr.
Hj. Huzaemah Tahido Yanggo menegaskan justru perempuan muslim yang tidak
dikhitan dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) sehingga wajib
perempuan dikhitan orang tuanya karena manfaat bagi yang bersangkutan
sangat besar, disamping menjaga kesehatan juga dapat menjaga nafsu
berlebihan.
Pernyataan Prof. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo tersebut
dinyatakan pada konferensi internasional tentang fatwa, yang berlangsung
sejak 24-26 Desember 2012 di Jakarta. Pada hari ketiga, Rabu (26/12) di
konferensi itu, Hj. Huzaemah Tahido Yanggo - pakar hukum Islam pada
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, tampil membawakan makalah tentang pentingnya khitan bagi anak
perempuan.
Khitan bagi perempuan memiliki manfaat besar. Namun,
di sisi lain ia menyadari bahwa pernyataannya itu berlawanan dengan
himbauan Badan Kesehatan Dunia (WHO). WHO beberapa tahun silam
mengeluarkan himbauan agar perempuan dilarang untuk dikhitan. Pasalnya,
hal tersebut dianggap merupakan tindakan melanggar HAM. Di sisi lain, ke
depan, bisa mengurangi kenikmatan perempuan dalam melakukan aktivitas
seksualitas bersama pasangannnya.
Bawa keburukan Justru jika
tidak dikhitan, menurut Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, bisa membawa
keburukan pada diri perempuan itu sendiri. Jadi, mengkhitan perempuan
bagi seorang penganut agama Islam sudah lama dilaksanakan. Bahkan
Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, melakukan khitan kepada putrinya sendiri.
Hanya saja, khitan bagi anak perempuan dan lelaki berbeda. Untuk
lelaki, ketika dikhitan mengundang banyak orang.
Di tanah air,
hal ini sesuai dengan kultur daerah masing-masing. Bahkan untuk lelaki,
ada yang disertakan dalam khitanan massal. Kementerian Kesehatan --
sekitar tahun 2006 -- pernah mengeluarkan himbauan melarang khitan bagi
perempuan. Larangan tersebut kemudian menimbulkan kontroversial di
masyarakat. Awalnya bagi umat Muslim tak dipersoalkan, tiba-tiba menjadi
pembicarakan ramai.
Dan, sesungguhnya keluarnya himbauan dari
Kementerian Kesehatan agar tak mengkhitan perempuan dilatarbelakangi
oleh himbauan WHO. Padahal, himbauan tersebut sungguh tidak tepat.
Menghadapi kenyataan tersebut, lantas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memanggil pihak-pihak yang memiliki otoritas di bidang kesehatan.
Termasuk dari kalangan medis dan Kementerian Kesehatan yang memiliki
otoritas penuh dalam persoalan tersebut.
Dalam pertemuan
tersebut, menurut Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, diperoleh kejelasan bahwa
himbauan WHO tersebut -- yang terkait dengan khitan bagi perempuan --
bukan khitan sebagaimana dipahami oleh umat Islam. WHO memahami bahwa
khitan yang dimaksud seperti melakukan mutilasi pada bagian
"kewanitaan". "Rupanya WHO melihat kasus tersebut seperti yang terjadi
di Afrika. Yang benar adalah dipotong bagian atas "clitoris". Dilakukan
sekedarnya, hanya buka selaput bagian atas "clitoris"," ia menjelaskan.
Kementerian
Kesehatan, menurut dia, mendapat tekanan dari WHO agar mengkampanyekan
pelarangan khitan bagi wanita. "Sesungguhnya, jika wanita tak dikhitan
justru melanggar HAM," tegasnya. Sebagai solusinya menghadapi kasus
tersebut, MUI meminta jajaran kesehatan untuk melakukan pelatihan kepada
para bidan, dokter dan paraji tentang cara melakukan khitan bagi
wanita. Hasilnya, memang menggembirakan dan para wanita muslim tetap
dikhitan sampai saat ini.
Apa saja manfaat wanita jika dikhitan,
menurut dia, bisa menstabilkan syahwat wanita, menghilangkan bau. Jika
tak dikhitan, bau bisa melekat dan bersarang pada bagian "kewanitaan".
Selain itu, manfaat lain, kebersihan tentu bisa terjaga sehingga prilaku
wanita ke depan akan lebih baik sesuai tuntunan ajaran agama.
"Mengikuti syariat Islam kan itu baik," kata Hj Huzaemah Tahido Yanggo.
(K-4/EIO)
Saya Tegaskan Bahwa Sebagian Besar Artikel di Blog Ini Berasal Dari Pulsk.
Artikel Yang Tidak Tercantum Sumbernya Adalah Berasal Dari Puslk
Tuesday, January 22, 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Copyright by Muhammad Farhan Ammar. Powered by Blogger.
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)