Sejauh ini opini publik telah digiring oleh media bahwa kebijakan mem-”bail out” Bank Century adalah salah, karena krisis yang dialami Bank Century (BC) tidak bersifat sistemik. Dalam acara-acara talk show
di TV narasumber yang banyak berbicara umumnya dari para pengamat
politik, ahli hukum dan anggota DPR. Narasumber inipun juga sudah
dipilih kira-kira yang akan berfihak pada anti bailout.
Sedang praktisi keuangan, khususnya yang dari perbankan, tidak pernah
diundang sebagai narasumber. Dari hasil pemeriksaan pansus DPR memang
terungkap bahwa prosedur pencairan dana talangan bank Century terdapat
beberapa kejanggalan yang menjurus kearah tindak pidana korupsi. Namun
justifikasi apakah kebijakan bailout BC
tepat atau tidak, tidak pernah terungkap dengan jelas karena adanya
asimetri informasi dalam membahas kasus BC. Cara pandang terthadap kasus
BC terlalu sarat dengan muatan politik.
Sebagai praktisi
keuangan yang mengalami langsung gejolak industri keuangan ketika
terjadi krisis BC, saya mencoba berandai-andai bagaimana kalau BC tidak
dibailout. Pada waktu itu saya bekerja sebagai pengurus dari sebuah perusahaan yang bergerak dibidang money broker. Perusahaan saya memberikan jasa perantara (brokerage services)
kepada perusahaan, lembaga keuangan dan bank yang memerlukan dana
jangka pendek baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pengertian jangka
pendek adalah kurang dari 1 tahun. Transaksi dilakukan melalui dealing room dengan media komunikasi telpon atau telex. (makanya juga disebut transaksi call money) Jadi, setiap hari kerja, para broker
kami tugasnya mempertemukan fihak-fihak yang kekurangan dana dengan
fihak yang kelebihan dana. Sebagai contoh, kalau suatu bank memprediksi
bahwa untuk transaksi kliring hari ini kewajiban membayarnya akan lebih
besar daripada likuiditas yang tersedia, maka bank tsb dapat pinjam dana
dari bank lain. Dari komunikasi dan interaksi para dealer dan klien yang bergerak di bisnis ini, segera dapat diketahui bagaimana kondisi likuiditas di pasar keuangan.
Krisis BC berawal dari hampir bangkrutnya bank-bank besar di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2008 ketika terjadi skandal subprime mortgage. Pada waktu itu portofolio bank-bank AS dalam surat berharga yang dijamin oleh pinjaman perumahan (mortgage) merosot drastis nilainya, karena default (tak
mampu bayar) semua. Olengnya bank-bank besar AS langsung berdampak ke
bursa saham di Wall Street. Indeks saham gabungan New York, Dow Jones
index, terjun bebas sampai tinggal 60% dari nilai pasar semula. Jatuhnya
pasar saham di Wall Street juga langsung berdampak ke pasar saham di
Indonesia. Indeks
harga saham gabungan di bursa efek Jakarta jatuh hingga tinggal 50%.
Ketika itu saham Bumi Resources yang semula bernilai Rp1,200 sempat
jatuh hingga tinggal Rp100 saja. Investor asing rame-rame menjual sahamnya dan menukarnya dengan dolar
untuk repatriasi ke negrinya. Akibatnya nilai rupiah jatuh dan kurs
dollar dalam waktu pendek melonjak dari Rp8,500 menjadi Rp12,000 per US
dollar. Penabung-penabung dalam negri juga ikut panic, mencairkan
tabungan rupiahnya (rush) untuk membeli dollar.
Perbankan, khususnya bank-bank kecil, langsung merasakan liquidity squeeze (pengetatan likuiditas). Bank-bank besar yang bisanya menjadi net lender (penyedia
dana) mulai mengurangi pinjamannya kepada bank-bank kecil. Perbankan
menunggu-nunggu kebijakan apakah yang akan diambil pemerintah dalam
mengatasi krisis ini. Ketika Wapres Jusuf Kalla mengumumkan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan blanket guarantee (jaminan penuh atas simpanan fihak 3 di bank), perbankan langsung menghentikan transaksi call money di pasar uang. Kebijakan blanket guarantee
diambil ketika mengatasi krisis tahun 1998. Bank Century korban pertama
yang kalah kliring (gagal memenuhi kewajibannya di transaksi kliring).
Namun dibelakang BC sebetulnya sudah mengantre puluhan bank-bank kecil
lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas, walaupun belum sampai
ketahap gagal kliring. Semua orang bank waktu itu mengetahui semua
kondisi ini, termasuk bank-bank mana saja yang juga sudah kritis.
Akhirnya pemerintah memutuskan bahwa BC harus di bailout
dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menaikkan jaminannya menjadi Rp2
milyar per nasabah. Dengan kedua kebijakan ini, pasar uang hidup
kembali, bank-bank kecil bisa bernapas lebih longgar, rush
nasabah bisa dihindari, rupiah kembali menguat dan pasar modal
berangsur pulih. Jadi sudah dapat dipastikan kalau waktu itu BC tidak di
bailout maka bank-bank
kecil lainnya akan langsung bergelimpangan. Namun teori ini tidak dapat
diuji dilapangan, karena kenyataannya BC telah di bailout.
Untuk menilai apakah krisis BC akan berakibat sistemik atau tidak,
tidak bisa dilihat hanya dari ukuran bank yang bermasalah saja. Jadi
karena BC adalah bank kecil maka kalau collapse
pengaruhnya juga kecil. Yang lebih berperan dalam memicu krisis adalah
sentiment pasar. Sentimen waktu itu kuat sekali bahwa krisis perbankkan
sudah diambang pintu. Sentimen ini akan mempengaruhi reaksi pelaku
pasar.
Jadi, harus dibedakan antara kebijakan bailout dan prosedur pelaksanaan bailout. Menurut pendapat saya pengambilan keputusan bahwa BC harus di bailout
sudah benar. Bahwa dalam implementasinya terjadi penyimpangan itu
mungkin saja terjadi. Nantinya, beberapa tahun kemudian, sejarah akan
mencatat bahwa rakyat akan berterima kasih Indonesia bisa keluar dari krisis dengan cepat dan ekonominya bertumbuh dengan baik karena kebijakan bailout BC ini.
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)