Sudah
menjadi kodrat manusia bahwa segala yang dilarang atau ditutup-tutupi
justru memicu keingintahuannya untuk mencari hal yang disensor ini.
Dalam ilmu psikologi ada sebutan prinsip ‘The forbidden fruit’ (buah
terlarang) yang mengacu pada kepenasaran Adam dan Hawa waktu mendapat
titah dari Tuhan untuk tidak sekali-kali memakan buah apel di taman
firdaus. Bila tak ada larangan khusus memakan buah ini, mungkin mereka
malahan tidak pernah melirik apalagi tertarik pada buah ini.
Kecenderungan
ini tetap dibawa oleh manusia modern. Buku yang dinyatakan dilarang
oleh pemerintah (karena alasan politis, alasan moral atau ideologis),
justru membuat buku ini dicari-cari semua orang. Padahal seandainya buku
ini tak dilarang, mungkin peminatnya hanya segelintir orang saja.
Gambar atau video cabul seorang selebriti yang disensor atas nama
undang-undang, justru membuat gambar/video ini beranak-pinak dilipat
gandakan melalui mirror dan file-sharing network.
Inilah yang dinamakan dengan ‘Streisand Effect’
yaitu fenomena di mana upaya untuk menyembunyikan atau menghapuskan
informasi tertentu justru membawa konsekuensi semakin menyebar dan
meluasnya informasi ini. Istilah ini tercipta pada tahun 2003, pada
waktu selebriti Barbra Streisand mengajukan tuntutan hukum karena dia
merasa rumah kediamannya difoto dari udara dan disebarkan di Internet
tanpa seijinnya. Dia menuntut jurufoto Kenneth
Adelman and Pictopia.com karena alasan pelanggaran privasi. Tuntutan
berbiaya 50 juta dollar untuk mencabut gambar ini dari Internet akhirnya
tak dikabulkan oleh pengadilan. Alasannya foto udara ini diambil dalam
rangka proyek untuk mendokumentasikan erosi pantai di California, bukan
untuk mencuri gambar kediaman sang artis. Akibat tuntutan pencabutan
gambar ini, foto yang diunduh cuma 6 kali di website Adelman, meningkat
menjadi 420.000 pada bulan selanjutnya.
Padahal
kalau dilihat foto udara pantai Malibu di mana rumah Barbra Streisand
ini berdiri, sesungguhnya tak ada yang istimewa dan ‘bercerita banyak’.
Upaya penyensorannya yang membuat informasi ini meraja-lela kemana-mana.
Dalam juridiksi AS sesungguhnya sudah ada undang-undang cease and desist dan DMCA take down. Cease and desist adalah perintah untuk menghentikan (cease) dan tidak mengulangi perbuatan tersebut (desist) dengan ancaman sanksi hukum bila dilanggar. Contoh kasus cease and desist misalnya pada perongrongan (harassment) melalui telepon oleh penagih hutang, menguntit (stalking) seseorang, pelanggaran hak cipta dan hak paten dan sebagainya.
DMCA (Digital Millennium Copyright Act)
adalah undang-undang yang disahkan pada tahun 1998 yang memberi sanksi
hukum terhadap pelanggaran hak cipta dan hak milik intelektual. DMCA take down
adalah pencabutan (penghapusan) konten sesuatu website atas permintaan
dari pemilik konten atau permintaan dari pemegang hak cipta dari konten
tersebut. Namun seperti yang sudah dipaparkan di atas, upaya ‘memblokir’
informasi ini, justru membuatnya tersebar tak terkendali di dunia maya.
Inilah keunikan dari ‘Streisand Effect’ yang bak pepatah kita ‘Patah
satu Tumbuh Seribu’ di era Internet ini. Dan meneguhkan maxim dari zaman
nenek moyang manusia yaitu ‘semakin dilarang semakin dicari’ orang.
0 Comments:
Post a Comment
Budayakan Meninggalkan Komentar Setelah Membaca Sebuah Artikel :)